Sempat Kubur Impian Jadi Dokter dan Kuliah di Luar Indonesia
Randika Taufiq Hari Nugraha dan Jasmine Willy Saphira melengkapi kemampuan akademik mereka dengan keaktifan berorganisasi serta berkompetisi. Randika gemar menyanyi dan karawitan, Jasmine menyukai seni berpidato dan mendongeng.
BARANGKALI ini yang dinamakan kesulitan yang menyenangkan. Kalau pelajar lain bingung mencari kampus, yang dihadapi Randika Raufiq Hari Nugraha malah sebaiknya: dia bingung memilih universitas yang mana.
Sebab, pelajar asal Semarang, Jawa Tengah, itu diterima di 16 universitas, baik di dalam maupun luar negeri. Dengan total 19 LoA (letter of acceptance) yang tersebar di sepuluh negara sekaligus.
Di antaranya University of Toronto (Kanada), Monash University (Australia), Nanyang Technological University (Singapura), Illinois Tech (Amerika Serikat), PEAK University of Tokyo (Jepang), Shanghai Jiao Tong University (Tiongkok), dan National Taiwan University. Randika bahkan tidak perlu pusing memikirkan soal biaya. Sebab, dia menerima Beasiswa Indonesia Maju (BIM) Program Persiapan S-1 Luar Negeri dari Pusat Prestasi Nasional Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi RI.
“Saat SNBP (seleksi nasional berdasarkan prestasi) tiba, saya coba di Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (UGM), eh keterima. Nah, itu akhirnya bingung,” ujar alumnus SMAN 3 Semarang itu kepada Jawa Pos saat dihubungi pada Minggu (9/7).
Dokter adalah cita-citanya sejak kecil. Di sisi lain, berkuliah di luar negeri juga memenuhi benaknya. Tapi, pada akhirnya, Randika mantap memilih melanjutkan pendidikannya di UGM. Kesehatan sang ayah yang kurang baik dalam tiga tahun terakhir jadi pertimbangannya untuk tetap tinggal di Indonesia.
“Ayah harus ke rumah sakit setiap minggu dan sudah mengalami keterbatasan gerak. Memang UGM juga jauh dari rumah, tapi setidaknya tidak perlu repot pulang pergi dalam-luar negeri jika terjadi suatu hal,” ungkap remaja 18 tahun itu.
Kondisi sang ayah itu justru kembali memotivasinya untuk menjadi seorang dokter. Randika sempat mengubur mimpinya tersebut karena perekonomian keluarga yang tidak menentu. Beruntung, dia mendapatkan subsidi UKT (uang kuliah tunggal). Sebab, BIM yang dia dapat untuk studi di luar negeri.
Mahasiswa baru UGM itu memang dikenal aktif dan berprestasi. Selama tiga tahun duduk di bangku SMA, Randika menorehkan prestasi di lebih dari 43 kejuaraan yang dia ikuti. Baik olimpiade di bidang IPA dan IPS maupun lomba nonakademik seperti paduan suara dan karawitan.
Dia bahkan berhasil membawa pulang medali emas di bidang fisika, biologi, dan bahasa Inggris di OSSN (Olimpiade Sains Siswa Nasional). Serta silver medal di 2nd ASEAN Student Science Olympiad untuk bidang biologi dan medical science.
“Dari SD suka ikut lomba nyanyi, seiring waktu pengin coba lomba lain dan eksplor diri. Ibu selalu bilang, kalau orang lain bisa, pasti kamu bisa,” ujarnya.
Semua capaiannya itu teraih berkat persiapan panjang. Tak hanya giat belajar di bidang akademik, tetapi juga rajin ikut kompetisi, organisasi, dan program yang mendukung.
Hal itu pula yang dilakukan oleh Jasmine Willy Saphira. Pelajar SMAN 2 Kediri yang diterima di 8 universitas dari empat negara. ’’Saat itu saya iseng cek e-mail ketika akan berangkat perjalanan ke luar kota untuk lomba, jadi cukup kaget pas tahu,” kata Jasmine saat dihubungi kemarin (10/7).
Remaja 18 tahun itu diterima di University of Toronto (Kanada), Wageningen University and Research (Belanda), dan lima kampus di Australia. Kelimanya adalah University of Sydney, University of New South Wales, University of Western Australia, University of Queensland, dan Monash University. ’’Itu yang lolos, tapi ada juga yang nggak lolos kayak MIT sama University of Chicago,” tutur perempuan asal Kediri tersebut.
Di SNBP, Jasmine kembali diterima di STEI-K Institut Teknologi Bandung (ITB). Setelah mempertimbangkan dengan matang, dia menjatuhkan pilihannya pada University of Toronto kampus Scarborough dengan program studi co-op computer science.
’’Di sana memungkinkan saya untuk bekerja selama masa studi karena memang diharuskan tiga kali kerja dengan durasi per kerja empat bulan. Jadi, semacam work integrated learning,” jelasnya.
Menempuh pendidikan di luar negeri sudah menjadi impian Jasmine sejak di bangku kelas VI sekolah dasar. Massachusetts Institute of Technology (MIT) adalah dream shcool dia. Namun, mimpi itu kurang didukung sang ayah lantaran ekonomi keluarga kurang memadai. ’’Saya sudah berdamai dengan mimpi saya kala itu, meski masih bertekad,” lanjutnya.
Jasmine berhasil mendapat beasiswa yang sama dengan Randika. Yakni, BIM untuk program S-1 di luar negeri. Mulai biaya pendidikan hingga biaya hidup sudah ditanggung. ’’Ortu dan kedua adik saya senang, lega, dan bangga mendengarnya,” ungkapnya.
Jasmine menyebut tak ada strategi khusus untuk lolos di kampus luar negeri. Hanya, sejak bermimpi kuliah di MIT, dia banyak mencari tahu kriteria pelajar yang diterima kampus tersebut. Yakni, siswa yang well-rounded.
“Jadi, dari jenjang SMP saya ikut organisasi seperti OSIS dan ikut banyak kegiatan seperti KIR (karya ilmiah remaja), storytelling (mendongeng), dan speech (pidato). Di SMA juga demikian, termasuk ikut student exchange,” bebernya.
Dilansir dari: https://www.jawapos.com/