Alhijrah.co – Selama ini, manusia menjadi tolok ukur dari segala yang ada. Dalam etika antroposentrisme, manusia dilihat sebagai makhluk sosial yang jati dirinya dibentuk oleh komunitas sosial, bukan sebagai makhluk ekologis yang identitasnya ikut dibentuk oleh alam. Sehingga, norma dan nilai moral hanya dibatasi keberlakuannya bagi manusia sebagai pelaku moral, yang memiliki kemampuan untuk bertindak secara moral berdasarkan kehendak bebasnya.
Akibatnya, acapkali manusia menganggap dirinya lebih mulia daripada alam hingga wajib berpijak di atas alam, bukan menyatu dengan alam.
Terlalu prematur jika alam semesta hanya dimaknai sebagai mesin besar saja sebagaimana dipahami di kalangan Newtonian-Cartesian. Alam itu hidup dan memiliki kesadaran, karena itu mereduksi alam telah mematikan unsur hidup di alam semesta.
Yah, saya berpikir kerusakan hutan, pencemaran air, dan udara merupakan contoh yang sangat menonjol. Akar persoalannya terletak pada manusia sebagai aktor yang tak lagi memiliki rasa takjub (sense of wonder) pada diri dan alam raya. Kondisi demikian mencerminkan akibat dari makna moderasi yang tidak dipahami dengan benar.
Lalu, apa itu moderasi? Alam ini terjaga karena moderasi, sederet kata bertuah dilontarkan Sekretaris Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam (Sesditjen Bimas Islam), Muhammad Adib saat menyambut Audiensi Tempo Media Group di ruang kerjanya pada Minggu lalu. Ajaib bin takjub, saya mengeja seluruh prolog maupun epilog setiap wejangannya. Petuah-petuahnya merangsang jemari saya untuk mengotak-atik sepenting apa moderasi untuk alam.
Kamus Besar Bahasa Indonesia memberi batasan bahwa moderasi adalah penghindaran keekstreman. Tampaknya, rumusan ini kurang sederhana untuk dikonsumsi publik. Lalu, Adib mengukuhkan kata moderasi dengan adagium yang sederhana, yaitu tidak berlebihan. Yah, ini sederhana.
Lalu, bagaimana relasi alam dengan moderasi? Dikatakan Adib, alam semesta bergerak secara harmonis karena moderasi sejak awal sudah ada, jauh sebelum manusia mengenal peradaban. Kalau kita mampu bersikap moderat pada alam, maka semuanya akan berjalan dengan teratur, ritmis, dan berirama.
Tidak ada manusia yang berpotensi merusak irama alam kecuali manusia itu sendiri. Itulah sebabnya kita dibekali akal untuk memahami moderasi lalu mempraktekkan dalam kehidupan sehari-hari, tidak hanya relasi kita terhadap Tuhan dan manusia, tetapi juga perlu relasi kita terhadap alam.
Manusia adalah miniatur alam semesta yang harus seirama dengan alam baik itu dalam denyut nadinya, detak jantungnya, dan vibrasinya. Indonesia yang mewakili alam merupakan negara bangsa yang memiliki keunikan dengan keragamaan suku, ras, adat istiadat, tradisi, budaya, bahasa, keyakinan dan kepercayaan yang dapat berbaur serta bersatu dalam ideologi Pancasila. Dengan keragaman itu, kita mesti bersyukur atas limpahan berkah yang diberi ke negeri tropis ini.
Memang, kita tak punya salju yang meromantiskan suasana Natal atau memberi kita kesempatan memakai jaket bulu sering-sering. Tapi, kita punya deretan pantai hijau dan biru di mana air dari gunung-gemunung bermuara setelah melintasi rimbunnya hutan. Kita mampu menari bersama butiran-butiran air yang jatuh menerpa dedaunan saat rindu kita sedang meradang. Kita mampu menikmati sumber kekayaan alam di negeri ini dan melimpah ruahnya pangan karena ada moderasi yang menjaga alam.
Dari hasil diskusi sederhana kepada salah seorang budayawan di Butta Panrita Lopi Kabupaten Bulukumba, ia menggambarkan, jika suatu daerah terdapat padi, jagung, dan gandum yang tumbuh subur, maka terdapat kerajaan besar yang berkuasa karena ketahanan pangan yang dimiliki.
Ketahanan pangan selanjutnya akan membentuk ketahanan keluarga. Ketahanan keluarga akan mampu mencegah terjadinya stunting.
Menurut Global Food Security Index (GFSI), indeks ketahanan pangan Indonesia pada 2022 berada di level 60,2. Berdasarkan laporan Economist Impact, skor GFSI milik Indonesia mengalami peningkatan 1,7% dibandingkan pada 2021 yang sebesar 59,2 poin. Skor indeks tersebut menjadikan ketahanan pangan Indonesia pada 2022 dalam kategori moderat (skor 55-69,9 poin). Indonesia berada di peringkat ke-63 dari 113 negara, diapit oleh Tunisia dan Kolombia yang masing-masing memiliki skor 60,3 poin dan 60,1 poin.
Berada pada angka demikian tidak gampang, butuh usaha yang maksimal dan proses panjang. Semua berangkat dari tindakan yang matang dan tidak berlebihan.
Lalu, apa hikmah yang bisa kita petik?
Moderasi menyadarkan kita pentingnya relasi manusia dengan alam. Manusia harus bersikap moderat. Manusia itu bukanlah entitas terpisah, melainkan bagian tidak terpisahkan dari alam semesta yang lebih besar. Kesadaran akan hubungan ini membantu setiap orang memahami tempat mereka dalam skema alam semesta dan mengembangkan rasa keterhubungan dengan dunia di sekitar mereka.
Dengan moderasi, kita bisa mengetahui alam semesta diatur oleh prinsip-prinsip yang tak tergoyahkan, termasuk hukum-hukum alam dan prinsip kebijaksanaan universal. Manusia diharapkan hidup sesuai dengan prinsip-prinsip ini untuk mencapai harmoni dengan alam. Hal ini melibatkan penerimaan takdir dan hidup sesuai dengan kebijaksanaan alami yang ada di dalamnya.
Moderasi mengajarkan pentingnya manusia menerima dan menghargai keterbatasan mereka dalam hubungannya dengan alam. Manusia tidak memiliki kendali penuh atas dunia dan peristiwa di dalamnya. karenanya, penting bagi manusia untuk menerima keterbatasan ini dengan bijaksana dan hidup dengan penuh kesadaran akan batasan-batasan tersebut.
Sederhananya, tidak berlebihan.
Moderasi mendorong manusia untuk menggunakan sumber daya alam dengan bijaksana dan bertanggung jawab. Hal ini melibatkan penggunaan yang hemat, menjaga keseimbangan antara kebutuhan manusia dan keberlanjutan alam, serta menghindari penyalahgunaan sumber daya alam. Lagi-lagi sederhananya, tidak berlebihan.
Moderasi menekankan pentingnya menghargai keindahan dan keteraturan alam. Manusia diharapkan untuk mengamati keindahan alam sebagai sumber inspirasi dan refleksi, serta menghargai keteraturan alam sebagai panduan dalam hidup.
Moderasi menekankan pentingnya menghormati dan merasa terkait dengan makhluk hidup lainnya dalam alam. Manusia diharapkan untuk mengembangkan rasa empati dan tanggung jawab terhadap kehidupan di sekitar mereka, menjaga keseimbangan ekosistem, dan memperlakukan makhluk hidup lain dengan hormat. Tetapi, lagi-lagi tidak berlebihan.
Walaupun modernitas saat ini sudah tak terhindarkan lagi. Tapi janganlah lupa pada alam yang membesarkan dan tanah yang memberi makan. Hasrat menikmati keindahan alam bisa jadi tinggal mimpi manakala kita tidak bersikap moderat. Saya masih bisa meruncingkan ingatan saya ketika Seyyed Hossein Nasr mengatakan perlakukanlah alam layaknya seorang istri! Meskipun dinikmati tetapi dinafkahi. Maka, mari kita menjaga harmoni alam semesta serta harmoni bangsa kita dengan bersikap moderat.
Penulis: Wahyu Ciptadi Pratama