Kisah Pengalaman : Momentum Peringatan Idul Adha dalam Mempererat Tali Toleransi, Solidaritas dan Kerukunan Antar Umat Beragama di Tengah Kemajemukan Umat

Idul Adha yang diperingati umat muslim setiap tahun pada tanggal 10 Zulhijjah bukan sekedar ritual penyembelihan hewan kurban sebagaimana di syaria’atkan dalam ajaran Islam semata, namun lebih dari itu memiliki makna luhur yang mengajarkan pengorbanan dan saling berbagi kepada sesama umat manusia. Kegiatan penyembelihan hewan kurban yang syarat akan nilai-nilai sosial dan makna pengorbanan ini sejatinya merupakan bentuk nyata dari toleransi, solidaritas, dan kerukunan antar umat beragama. Ajaran dan tradisi ini seolah menjadi magnet perekat perbedaan diantara umat beragama yang semakin tumbuh subur di Indonesia.

Melalui sebuah kisah nyata ini penulis berusaha menggambarkan kehidupan toleransi antar umat beragama yang terjadi di tengah masyarakat. Kisah pengalaman ini kebetulan terjadi di kampung tempat penulis tinggal, masyarakat disini menyebutnya dengan kampung Batu Penggal yang berada di wilayah administratif Kelurahan Loa Bakung, di Kecamatan Sungai Kunjang, Kota Samarinda, Propinsi Kalimantan Timur. Lokasi kampung ini berjarak kurang lebih 7.7 km atau sekitar 19 menit berkendara dari pusat kota Samarinda. Kampung yang didiami sebanyak 368 jiwa ini tergabung dalam satu Rukun Tetangga, kampung ini dulunya dihuni oleh warga asli yang telah menetap turun menurun selama berpuluh-puluh tahun yang mayoritas merupakan keturunan suku Banjar, sebagian kecil ada suku Bugis, Jawa dan Timor. Dalam perjalanannya kampung ini terus mengalami perkembangan seiring masuknya pengembang properti dengan membangun perumahan yang kemudian mendorong masuknya warga baru berstatus pendatang yang akhirnya menetap dan menghuni kampung ini. Sebagian besar warga pendatang tersebut tinggal di perumahan. Secara kasat mata sangat mudah membedakan mana rumah yang dihuni waga pendatan (perumahan) dan yang mana rumah warga asli kampung ini, hal ini tak terlepas dara style bangunan yang berbeda, sebagian besar rumah warga perumahan berkonstruksi beton/tembok, sementara rumah-rumah warga asli sebagian besar berbahan dasar kayu. Yang menarik adalah diantara rumah-rumah keduanya tidak ada penghalang/sekat berupa tembok ataupun pagar layaknya lingkungan perumahan pada umumnya. Secara jumlah, warga asli dan warga pendatang yang menghuni kampung ini tergolong berimbang (50:50). Adat, budaya dan kehidupan warga kampung ini sebenarnya tergolong maju/modern, hal ini tidak terlepas dari lingkungan kampung Batu Penggal yang secara geografis berada di wilayah perkotaan dan dekat dengan pusat perbelanjaan (mall) terbesar di Samarinda, yang dalam pandangan umum kehidupan masyarakat perkotaan dengan kondisi warga masyarakatnya yang majemuk dengan beragam suku, agama, etnis dan status sosial yang potensial memunculkan berbagai persoalan sosial oleh gaya kehidupannya yang nafsi-nafsi, kurang peduli, dan materialistik. Namun justru fenomena yang terjadi malah sebaliknya, selama mendiami kampung ini kurang lebih 20 tahun penulis melihat dan mengamati ada nilai-nilai kehidupan sosial yang dijunjung tinggi oleh masyarakat yang dipedomani secara turun temurun. Hal ini tampak dari kehidupan sosial mereka yang guyub, hidup rukun dengan sikap kegotong royongan dan kekompakan yang tetap terjaga. Hal ini ditunjukkan dalam berbagai aktivitas dan peringatan hari-hari besar baik hari besar nasional maupun hari besar keagamaan lainnya yang diperingati di sepanjang tahun.

Salah satu fenomena menarik kehidupan masyarakat di kampung ini tampak pada peringatan Idul Adha, mulai dari proses pengumpulan dana untuk pelaksanaan kurban diperoleh dari hasil arisan dan kesepakatan warga muslim, jumlahnya tergolong lumayan, rata-rata per tahun bisa terkumpul untuk pembelian hewan kurban antara 8-9 binatang kurban yang terdiri dari 3-4 ekor sapi dan 4-5 ekor kambing. Kesempatan Idul Adha tahun ini (2023) selayaknya tahun-tahun sebelumnya, di hari H kegiatan penyembelihan dihadiri warga masyarakat tanpa ada yang mengomando maupun mengundang secara resmi oleh panitia, warga dengan antusias datang di lokasi pemotongan yang berada di pekarangan samping mushola Al-Ikhlas yang memang menjadi langgaran tempat pemotongan hewan kurban sejak awal. Umumnya mereka datang lengkap dengan membawa peralatan masing-masing, meskipun ada juga yang sekedar ikut menyemarakkan saja. Peralatan yang mereka bawa umumya berupa parang, pisau, batu asah, kampak bagi kaum laki-laki dan peralatan dapur, snack, air minum, dll. bagi kaum ibu. Warga masyarakat yang hadir bukan hanya umat muslim tapi juga dari warga non muslim. Sementara itu semua pihak mengambil peran seolah ada yang mengkoordinir, kaum laki-laki dan kaum perempuan mengerjakan tugas masing-masing, mulai dari pengulitan hewan kurban yang sudah dipotong, pencacahan daging, penimbangan, pencatatan, packing hingga petugas masak dan konsumsi semua bekerja dengan ikhlas dan sukarela. Saat packing dan penimbangan selesai tiba sesi distribusi daging kepada seluruh warga yang telah menerima pembagian kupon di hari sebelumnya. Distribusi daging diberikan kepada seluruh warga, baik warga muslim maupun warga non muslim yang terdata secara kependudukan di kampung ini. Data penerima daging kurban adalah warga yang berdomisili dan memiliki data kependudukan di RT. 01 kampung Batu Penggal, dan bagi warga pendatang yang sifatnya tinggal sementara, misalnya yang kost atau menumpang di rumah sanak keluarganya. Jumlah daging yang dibagikanpun memiliki jumlah, timbangan dan kualitas yang sama.

Melalui kisah pengalaman yang penulis gambarkan tersebut dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwasanya melalui peringatan Idul Adha mengandung hikmah dan makna besar yang relevan dalam konteks kerukunan antar umat beragama. Dengan demikian dalam perspektif kerukunan, peringatan Idul Adha diartikan sebagai simbol solidaritas, penghargaan terhadap perbedaan, dan semangat untuk bekerja sama demi kesejahteraan bersama, yang secara rinci dapat dimaknai sebagai berikut:

Bahwa peringatan Idul Adha menumbuhkan solidaritas untuk gemar saling berbagi, pesan utama Idul Adha adalah tentang semangat berbagi dan memberikan kepada mereka yang membutuhkan. Dalam konteks kerukunan, aksi berbagi sebagaimana kisah yang terjadi di atas tidak hanya terbatas pada umat muslim saja, akan tetapi juga mencakup semua komunitas. Ini menggambarkan semangat persatuan dalam membantu sesama, tanpa memandang agama, suku, dan ras ataupun latar belakang budaya.

Bahwa peringatan Idul Adha menumbuhkan sikap toleransi dan penghargaan terhadap perbedaan, peringatan Idul Adha dapat menjadi kesempatan untuk menunjukkan penghargaan terhadap perbedaan antara komunitas agama. Prosesi dalam peringatan dan penyembelihan hewan kurban oleh umat muslim dalam peringatan Idul Adha dapat memperkuat pemahaman dan mengurangi stereotip atau kesalahpahaman bagi umat lain.

Bahwa peringatan Idul Adha juga sebagai bentuk kerja sama dalam kegiatan sosial, melalui semangat Idul Adha, umat muslim terlibat dalam kegiatan sosial dan kemanusiaan bersama-sama, seperti menyumbangkan daging kurban kepada mereka yang membutuhkan. Mengundang partisipasi dari berbagai kelompok agama yang berbeda dalam kegiatan semacam ini membangun jembatan kerjasama dan memperkuat hubungan yang positif.

Bahwa peringatan Idul Adha memperkuat nilai-nilai persamaan dan kemanusiaan, pesan di balik kisah Nabi Ibrahim yang bersedia mengorbankan putranya adalah nilai ketaatan kepada Tuhan dan pengorbanan untuk kemanusiaan. Ini adalah nilai-nilai yang dapat diterapkan oleh semua agama. Dalam konteks kerukunan, menghargai dan mempromosikan nilai-nilai ini dapat memperkuat ikatan antara berbagai komunitas.

Bahwa melalui peringatan Idul Adha bisa mengatasi ketegangan dan konflik, Idul Adha bisa menjadi saat yang tepat untuk mengurangi ketegangan dan konflik antara komunitas agama. Dengan berkomunikasi dan berbagi makna perayaan, peluang konfrontasi dapat dikurangi, dan dialog yang konstruktif dapat terbentuk.

Bahwa peringatan Idul Adha mampu membangun keterbukaan dan pemahaman, peringatan Idul Adha membuka pintu bagi pertukaran pengetahuan dan pemahaman antara berbagai agama. Ini memungkinkan semua pihak untuk memahami lebih dalam tentang praktik dan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh masing-masing agama.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa momentum peringatan Idul Adha dapat menjadi trigger positif dalam memperkuat kerukunan antar umat beragama. Hal ini mengingatkan kita akan nilai-nilai universal seperti solidaritas, penghargaan terhadap perbedaan, serta kerja sama agar dapat mengatasi perbedaan dan membangun masyarakat yang harmonis dan inklusif.

Penulis : Sugiyono (Dosen UINSI Samarinda)

Pos terkait