Alhijrah.co – Hari ini kita sering merasakan terjadinya pembelahan sosial yang terjadi di masyarakat dalam peristiwa sosial bernuansa agama. Apabila tidak ada mitigasi yang cepat dan tepat, pada tingkatan yang akut seringkali hal ini akan mengakibatkan tindak kekerasan bahkan berujung pada timbulnya korban jiwa. Fenomena ini semakin tak terkendali di era media sosial dan Post Truth, dimana ini menjadi salah satu tantangan terbesar saat ini dalam mengelola kehidupan beragama. Dibutuhkan kebijaksanaan dan kesadaran yang baik terhadap penggunaan media sosial agar tidak menjadi sarana pemicu disharmonisasi kehidupan berbangsa dan bernegara dalam konteks internal dan antar umat beragama. Era Post Truth saat ini, menjadikan kebenaran sebagai sebuah hal yang subjektif, sehingga data yang akurat acapkali diabaikan dalam narasi -narasi sosial bernuansa agama. Pada akhirnya kita terjebak pada defisit wacana kebangsaan dan persatuan. Emosi yang tinggi dan tidak stabil, mempertahankan pendapat pribadi, tidak mampu menerima perbedaan, itu semua semakin mendarah daging dalam interaksi sosial bernuansa agama kita sehari-hari baik pada percakapan media sosial maupun pada dunia nyata.
Hasil survei Litbang Kompas menunjukkan bahwa hal yang paling mendorong Ekstrimisme dalam beragama atau radikalisme bernuansa agama di Indonesia yaitu 30,2% disebabkan oleh kurangnya pemahaman yang benar tentang ajaran agama. Pertanyaan menarik terkait hal ini adalah “Mengapa seseorang yang beragama memiliki pemahaman yang salah terhadap ajaran agamanya?” Bila kita analisa lebih jauh, seseorang yang kurang dalam pemahaman yang benar tentang ajaran agama yang dianutnya bisa disebabkan banyak faktor, beberapa diantaranya adalah motivasi yang rendah untuk belajar lebih dalam tentang ajaran agamanya, misalnya hanya mengambil potongan-potongan kecil dari sebuah pemahaman terkait ajaran suatu agama yang dia dapatkan dari internet yang hari ini sering kita sebut dengan cara beragama yang instan, salah dalam memilih guru atau pembimbing dalam agama yang mengajarkan kepadanya fanatisme buta dan anti perbedaan, kelemahan dalam alur berpikir, sehingga asumsi-asumsi pribadi yang diterima tidak di uji dengan kebenaran faktual, faktor lingkungan keagamaan dimana dia berada sehingga mempengaruhi dirinya, tidak melakukan studi komparasi/perbandingan terhadap berbagai tafsir dan perspektif dalam ajaran agama yang dianutnya, dan banyak faktor yang lainnya. Beberapa faktor tersebut diatas, akan membentuk cara pandang, sikap, dan praktek beragama yang tidak benar dan hanya akan mengurung seseorang dalam dunia pemikirannya tanpa mau tahu ada dunia pemikiran, perspektif, dan keyakinan orang lain di luar sana yang mungkin sesuai dengan realita faktual sesungguhnya. Cara pandang, sikap, dan praktek beragama seperti ini akan mendorong dirinya untuk menutup diri terhadap perspektif atau pandangan lain yang berbeda dengan apa yang dia yakini. Pribadi ini akan sulit untuk mendiskusikan dan menerima kebenaran yang dipegang dan diyakini oleh orang lain. Karakter pribadi seperti ini, hanya akan berfokus pada asumsi-asumsi yang dia bangun dalam realita internal dalam pikirannya. Padahal, belum tentu realita internal yang ada dalam pikirannya sejalan dengan realita eksternal atau peristiwa faktual yang terjadi.
Apa yang ada di dalam kepala kita dibangun dari proses yang lebih kompleks dari yang kita bayangkan. Pertanyaannya adalah apakah yang kita pikirkan dan yakini tentang sesuatu sungguh-sungguh menggambarkan sesuatu itu atau ia berasal dari asumsi-asumsi subjektif kita? Oleh karena itu, kita membutuhkan perangkat metodologis dalam alur berpikir kita, yang berguna untuk membongkar kekeliruan dalam bernalar. Janganlah asumsi-asumsi awal yang ada dalam pikiran kita dianggap sebagai kebenaran faktual. Ujilah setiap realitas internal yang ada di kepala kita, dengan realitas internal yang ada di pikiran orang lain melalui ruang-ruang diskusi. Ujilah setiap asumsi-asumsi yang ada dalam pikiran kita dengan fakta realitas yang terjadi.
Wallahua’lam
Penulis: Muhammad Khairul Rijal (Dosen UINSI Samarinda)