Burnout Pada Mahasiswa Aktivis

Alhijrah.co – Mahasiswa aktivis merupakan wujud mahasiswa aktif, mengikuti kegiatan mahasiswa di kampus dan organisasinya. Tidak hanya mengikuti satu atau dua kegiatan yang ada, tetapi bisa mengikuti beberapa kegiatan atau lebih dari itu.

Mahasiswa aktivis adalah jenis mahasiswa yang “sibuk” karena banyak hal kegiatan yang menyibukan mereka. Sebagai aktivis, sudah pasti jika kegiatan yang dilakukan adalah hal-hal yang bersifat positif. (baca: aktivis mahasiswa 1998 yang mengawal era reformasi). Disaaat itu mahasiswa menjadi pelopor proses reformasi, tercatat mo­mentum bersejarah tumbangnya rezim Orde Baru pada 21 Mei 1998, telah berjalan 25 tahun, merupakan satu contoh perjuangan mahasiswa aktivis yang bergerak dan berjuang bersama.

Bacaan Lainnya

Walaupun sejatinya mahasiswa belajar, menimba ilmu pengetahuan dan menjadi penerus para ilmuan besar, menjadi pemikir, penemu dan membangun ilmu pengetahuan, memberikan banyak manfaat bagi lingkungan, masyarakat, agama dan bangsa.

Daya Tahan  

Ada sejumlah catatan yang membuat kita mesti hati-hati menjaga dan merawat daya tahan sebagai mahasiswa aktivis. Sebab aktivis merupakan pilihan dan keinginan menggebu-gebu pada diri kita sebagai mahasiswa, baik karena adanya kesadaran diri, maupun hanya ajakan dan dorongan linkungan atau teman.

Pertama, agenda kegiatan yang perlu disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi fisik dan psikis. Mampukah mahasiswa aktivis “berwajah dua”, yakni satu wajahnya penuh harapan untuk berjuang dan menjadi penggerak perubahan, dan wajah lainnya berjuang gigih dalam belajar dan mencapai prestasi akademik, mewujudkan harapan dan cita-citanya.

Kedua, memaknai dengan cerdas fenomena media massa dan media social, yang memberikan catatan situasi, memprovokasi, menstimulasi, dan memperbesar area gerakan mahasiswa aktivis, bisa saja menjadi bahan yang dikonsumsi, direproduksi, dan didistribusi­kan ke khalayak luas sebagai identitas bahkan bisa menjadi data-data perjuangan atau konsep aksi ataupun bahan-bahan program kegiatan.

Ketiga, mahasiswa aktivis dituntut memperhatikan dan memilih adanya kepentingan yang lebih utama, menjalankan organisasi, program kerja, melakukan pembelaan (advokasi) dan kepedulian (baca: berjuang) karena motif tertentu akan muncul dalam perjalanan aktivisnya. Dan terus belajar juga menjadi kewajiban sebagai seorang figur mahasiswa yang menimba ilmu, haus untuk belajar lebih banyak bahkan lebih tinggi. Sehingga motif ini dikenal sebagai motif dari diri (internal) dan motif luar dirinya (eksternal), mahasiswa aktivis harus bijak melihat dan memetakan motif-motif tersebut.

Keempat, memperkuat efikasi diri, karena mahasiswa aktivis diliputi dirinya untuk merealisasikan ide-ide gagasan brilliant-nya yang kadang menemukan hambatan dan tatangan. Maka efikasi diri sepenuhnya dapat menjadi formula interaksi dan memediasi segala aktivitasnya, keterlibatan mahasiswa hanya memiliki efek mediasi parsial dalam kasus burnout mahasiswa, mahasiswa perlu meningkatan efikasi diri yang memungkinkan mengkompensasi hubungan negatif aktivitas apapun dengan burnout (Maricuțoiua & Sulea, 2019). Artinya, bagi mahasiswa aktivis harus mampu menjaga dan meningkatkan efikasi dirinya.

Mahasiswa aktivis rentan burnout?

Bagaimana burnout (kelelahan) pada mahasiswa aktivis?, Sebagai mahasiswa tentu memiliki burnout. Meminjam istilah Schaufeli et al., (2002) student burnout merupakan adaptasi dari Employee burnout yang mengacu pada “perasaan lelah karena tuntutan belajar, mempunyai sikap sinis dan acuh terhadap studi, serta merasa tidak kompeten sebagai mahasiswa”.

Untuk kasus seperti ini, jelasnya burnout tidak hanya muncul pada mahasiswa aktivis, mahasiswa murni (yang hanya belajar, datang dan pulang belajar) pun bisa mengalamainya, karena burnout juga dialami mahasiswa (lihat penelitian: Balogun, Helgemoe, Pellegrini, & Hoeberlein, 1996; Gold & Michael, 1985).

Mahasiswa aktivis harus lebih fokus pada tingginya tingkat energi dan ketahanan mental saat beraktivitas (ber-organisasi) serta kemauan dan kemampuan untuk menginvestasikan daya juangnya. Karena harus dipahami lagi bahwa burnout didefinisikan pada keterlibatan sebagai sesuatu yang positif, memuaskan, dan keberhasilan.

Mahasiswa selama ini sudah mengelola keadaan pikiran yang ditandai dengan semangat, dedikasi, dan respon positif. Sebagai bentuk dedikasinya, semua aktivis ditandai bahwa perjuangan mahasiswa itu berangkat dari rasa penting, antusiasme, inspirasi, kebanggaan, dan tantangan. Hal ini menunjukkan keterlibatan mahasiswa aktivis ditandai oleh sebuah keadaan yang menghendakinya harus ber-konsentrasi penuh dan sebuah “keasyikan” yang menyenangkan dalam aktivitasnya, artinya dimana waktu berlalu dengan cepat dan mahasiswa merasa terbawa oleh pekerjaan dan ide-gagasannya yang masih perlu diperjuangkan.

Sehingga terserap sepenuhnya dalam pekerjaan, lebih dari sekadar perasaan berhasil, dan mahasiswa menyadari aktivitasnya mendekati apa yang disebut “penyaluran kekuatan perubahan”, membentuk pengalaman optimal yang didasari dan ditandai dari perhatian dan fokus, pikiran yang jernih, keselarasan pikiran dan konsentrasi tubuh, mengendalikan dan kesadaran diri, mengelola waktu, dan kenikmatan intrinsic lainnya. Semua hal itu bisa datang dan hilang, menjiwai dan membentuk mahasiswa aktivis, atau ada bentuk lainnya.

Semantara itu, adanya hubungan antara aktivitas dan burnout mahasiswa, yang menunjukkan bahwa burnout mahasiswa dan keterlibatan-nya memiliki proporsi varians intra-pribadi yang besar, bahkan dalam waktu belajar dan aktivitasnya bisa saja mahasiswa menemukan burnout yang lebih tinggi seiring berlalunya atau bertambahnya waktu belajar pada masa semester (Maricuțoiua & Sulea, 2019). Sesuai dengan penelitian Palos dkk, terdapat adanya nilai akademik yang dapat dianggap sebagai faktor yang menentukan keterlibatan mahasiswa dalam aktivitas kampus dan burnout (Paloș et al., 2019).

Diperjelas oleh Jacobs & Dodd, (2003), yang menyebutkan bahwa adanya tingkat burnout yang tinggi diprediksi oleh temperamen negatif dan beban kerja subyektif, namun aktivitas mahasiswa sebenarnya (yakni akademik dan kejuruan) tidak ada hubungannya dengan burnout.

Atau rendahnya tingkat burnout diprediksi oleh temperamen positif, partisipasi dalam kegiatan ekstrakurikuler, dan dukungan sosial terutama dari teman. Oleh karena itu Mahasiswa aktivis harus terus berjuang dan juga harus terus belajar lebih banyak, semua untuk masa depan yang lebih baik. Salam perubahan, hidup mahasiswa.

Wallahua’lam

Penulis: Mohammad Salehudin (Dosen UINSI Samarinda)

 

Bahan bacaan:

Jacobs, S. R., & Dodd, D. K. (2003). Student Burnout as a Function of Personality, Social Support, and Workload. Journal of College Student Development, 44(3), 291–303. https://doi.org/10.1353/csd.2003.0028

Maricuțoiua, L. P., & Sulea, C. (2019). Evolution of self-efficacy, student engagement and student burnout during a semester. A multilevel structural equation modeling approach. Learning and Individual Difference, 79(101785), 1–7.

Paloș, R., Maricuţoiu, L. P., & Costea, I. (2019). Relations between academic performance, student engagement and student burnout: A cross-lagged analysis of a two-wave study. In Studies in Educational Evaluation (Vol. 60, pp. 199–204). https://doi.org/10.1016/j.stueduc.2019.01.005

Schaufeli, W. B., Martínez, I. M., Pinto, A. M., Salanova, M., & Barker, A. B. (2002). Burnout and engagement in university students a cross-national study. Journal of Cross-Cultural Psychology, 33(5), 464–481. https://doi.org/10.1177/0022022102033005003

Pos terkait