Alhijrah.co – Siang itu, saya diminta untuk mengisi kegiatan sosialisai penguatan moderasi beragama di salah satu instansi pemerintah. Pesertanya dari berbagai kalangan. Mulai dari ASN, perwakilan agamawan, tokoh pemuda hingga tokoh masyarakat. Di tengah-tengah presentasi, tiba-tiba salah seorang peserta laki-laki menyela. “Pak, moderasi beragama itu kan proyek Barat. Mereka mau mereduksi ajaran Islam dengan mengadopsi tafsir yang sesuai dengan nilai-nilai Barat,” protesnya dengan nada agak tinggi.
Saya terhentak sejenak, namun tetap berusaha tenang. Dengan berapi-api, ia berusaha memprovokasi saya dan peserta yang lain. Ia melanjutkan, “Ini buktinya pak, jelas tertulis di dalam dokumen Building Moderate Muslim Networks dari Rand Corporation di Amerika yang dirilis pada tahun 2007”.
“Sudah baca isi dokumen itu pak?,” saya coba tanya balik.
“Hmm, anu pak, dokumennya pake Bahasa Inggris. Saya gak paham. Tapi, kata orang-orang dokumen ini berisi strategi orang-orang Barat untuk menguasai Islam melalui konsep Islam moderat. Jadi, nanti seseorang yang ngaku Muslim moderat didoktrin untuk menerima, mengadopsi, menyebarkan, dan mempraktikkan Islam dengan pandangan yang sejalan dengan nilai-nilai Barat.”
Saya penasaran. Lalu, mencoba mendekat. Ia nampak berdiri sigap, berusaha menunjukan dokumen yang dia maksud di handphonenya. Saya tersenyum, lalu berusaha merespon sekedarnya.
Karena penasaran, saya coba searching dokumen yang ia maksud. Sekilas, isi dokumen tersebut nampak mengerikan. Berisi peta jalan dan informasi jaringan-jaringan muslim moderat di berbagai belahan dunia Islam. Yang menarik, dokumen tersebut justru memberi pengakuan terkait eksistensi muslim moderat itu sendiri (Moderate Muslims do exist). Ia tidak diciptakan Barat, tetapi justru bagian tak terpisahkan dari Islam itu sendiri. Dunia Barat menyadari bahwa kelompok moderat tersebut bisa menjadi kekuatan baru versus kelompok muslim radikal. Terlepas dari apa motivasi Barat atas hal tersebut, saya justru melihat bahwa muslim moderat mampu menghadirkan wajah Islam yang sejuk dan damai di tengah gempuran isu konflik dan kekerasan berbasis agama di berbagai belahan dunia.
Dalam literatur keislaman, konsep “Islam moderat” sebenarnya memiliki akar yang kuat dalam tradisi Islam itu sendiri, jauh sebelum dokumen tersebut dirilis. Istilah “Islam moderat” identik dengan “Islam wasathiyah” yang merujuk pada ummatâ wasathâ dalam Al-Quran (Q.S. al-Baqarah [2]: 143). Para ahli tafsir sepakat bahwa kata “wasath” dalam ayat itu berarti “menjauh dari dua sisi sikap ekstrem.” Jadi, Islam moderat sebenarnya justru mendorong praktik agama yang seimbang, adil, lurus, dan tidak ekstrem, bukan mereduksi ajaran agama.” Saya mencoba meyakinkannya dengan merujuk pada para penafsir kredibel seperti Imam al-Thabari (w. 923 M), Imam Ibnu Katsir (w. 1372 M), dan Imam al-Zamakhsaryi (w. 538 H).
Pada prinsipnya, konsep wasathiyah Islam justru lahir dari rahim tradisi Islam yang mengintegrasikan nilai-nilai universal seperti toleransi, keadilan, dan perdamaian ke dalam praktik sosial-keagamaan di masyarakat. Islam sebagai jalan keselamatan harus menjadi pedoman hidup, diinterpretasi dan dimaknai secara luas. Karena itu, tafsir Islam terus berkembang selama berabad-abad dan disesuaikan dengan berbagai konteks budaya, sosial, dan ekonomi-politik.
Dalam konteks Indonesia, lahirnya konsep moderasi beragama merupakan bagian dari ijtihad para agamawan dan negarawan yang berusaha menghadirkan wajah agama yang rahmatâ li al-‘âlamîn sebagai respon terhadap isu-isu global yang menicedari nilai-nilai kemanusian, keadilan dan kemaslahatan.
“Jadi pak, klaim bahwa moderasi beragama adalah bagian dari proyek global untuk mengokohkan hegemoni negara-negara kapitalis di negara-negara Muslim itu tidak benar?,” ia terus mendesak.
Saya coba menjelaskan bahwa pandangan tersebut bisa jadi benar, bisa jadi keliru. Namun sejauh ini, tidak ada bukti yang kuat atau kredibel terkait hal itu. Faktanya, moderasi Islam lahir sebagai respons terhadap tantangan global dan perubahan sosial yang dihadapi oleh masyarakat Muslim modern. Ironisnya, masih ada kelompok-kelompok tertentu yang selalu menganggap moderasi beragama sebagai alat pemerintah untuk menyingkirikan dan menggebuk para oposisi pemerintah dan menuduh konsep tersebut sebagai bagian dari propaganda kelompok sekuler Barat yang ingin menghancurkan Islam.
Dalam konteks modern, Islam moderat justru berperan sebagai pagar pembeda yang memisahkan kelompok Islamiyyûn ekstrem dan kelompok Almaniyyûn atau sekuleris-liberal, seperti kata Syekh Yusuf al-Qaradawi.
Jadi, tuduhan bahwa ‘moderasi beragama lahir dari rahim sekularisme-kapitalis’ sama sekali tidak berdasar. Secara konsep, moderat dan sekuler itu jelas berbeda dan tidak sejalan. Jika kelompok sekuler berusaha memisahkan negara dari agama, kelompok moderat justru menjadikan esensi ajaran agama sebagai pondasi dalam membangun komitmen berbangsa, sikap toleransi, nir-kekerasan dan penghargaan terhadap tradisi yang sejalan dengan nilai-nilai agama. Atas dasar itu, lahirlah Negara Pancasila.
“Agama itu sudah paripurna, jadi tidak perlu dimoderasi,” saya melanjutkan. “Yang harus dimoderasi adalah cara pandang, sikap, dan praktik beragama yang bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran agama yang luhur.”
Saya kira, kita semua sepakat tentang bahaya intoleransi, radikalisme, ekstremisme, atau kekerasan dalam segala bentuknya. Tidak ada ajaran agama yang melegitimasi tindakan semacam itu. Oleh karena itu, moderasi beragama lahir sebagai bentuk ikhtiar negara untuk memperkuat peran umat beragama dalam menghadirkan harmoni, keadilan, toleransi, dan perdamaian di tengah masyarakat yang beragam.
Perlu ditegaskan bahwa moderasi beragama adalah pondasi etis, moral dan spiritual dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, bukan alat untuk menyelesaikan setiap masalah. Ia harus menjadi golden mean, pondasi setiap gerakan dan program yang dicita-citakan. Dengan begitu, berbagai gerakan sosial seperti kemiskinan, stunting, bullying, konflik agraria hingga krisis lingkungan akan menemukan jalan terangnya, cepat atau lambat. Sebaliknya, jika moderasi beragama hanya dipahami sebatas kebijakan negara yang dipaksakan apalagi dipertentangkan dengan ajaran agama, maka cita-cita menuju Indonesia emas di tahun 2045 akan sulit terwujud. Wallahu ‘alam.
Referensi:
Ditjen Bimas Islam, Kemenag. Moderasi Beragama Perspektif Bimas Islam. Pendis Press. Sekretariat Ditjen Bimas Islam Kementerian Agama, 2022. https://pendispress.kemenag.go.id/index.php/ppress/catalog/book/13.
Kamali, Mohammad Hashim. The Middle Path of Moderation in Islam: The Qur’anic Principle of Wasatiyyah. Oxford University Press, 2015.
Rabasa, Angel, Cheryl Benard, Lowell H. Schwartz, and Peter Sickle. “Building Moderate Muslim Networks.” RAND Corporation, March 8, 2007. https://www.rand.org/pubs/monographs/MG574.html.
Penulis: Hudriansyah