Alhijrah.co,-Wacana Kementerian Agama Republik Indonesia terkait revitalisasi Kantor Urusan Agama (KUA) menjadi tempat pernikahan semua agama menimbulkan dinamika tersendiri di masyarakat. Beberapa kalangan ada yang menolak namun banyak juga yang mengapresiasi kebijakan tersebut. Termasuk dari kalangan akademisi seperti Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Sultan Aji Muhammad Idris Samarinda, Prof. Dr. Zurqoni, M.Ag yang turut mengapresiasi kebijakan revitalisasi layanan KUA bagi umat beragama di Indonesia.
“Revitalisasi KUA sebagai tempat pelayanan pencatatan pernikahan bagi semua agama pada prinsipnya penting untuk didukung bersama. Selama ini KUA menjadi layanan bagi umat Islam dalam pencatatan pernikahan. Namun kita juga diharapkan mafhum dengan heterogenitas umat beragama yang ada di Indonesia. Revitalisasi ini dalam pandangan saya dalam rangka membangun tolerasi dan kebersamaan,” ungkap Prof. Dr. Zurqoni, M.Ag.
Baginya KUA sebagai lembaga pemerintah di Indonesia yang bertugas mengurus urusan keagamaan, terutama dalam hal pernikahan, perceraian, dan catatan keagamaan lainnya diharapkan mampu melayani semua umat. Apalagi jika melihat peran penting KUA dalam memberikan layanan administrasi terkait pernikahan dan perceraian serta memberikan bimbingan keagamaan kepada masyarakat tentunya diharapkan dapat menjangkau semua umat. “Dengan demikian akan menjadikan KUA sebagai lembaga pemerintah yang inklusif dan efisien dalam hal pelayanan umat terutama dalam hal administrasi,” jelasnya.
Prof. Dr. Zurqoni, M.Ag menjelaskan bahwa inisiatif Kementerian Agama dengan merevitalisasi KUA akan menjadi trigger dalam pembangunan sikap moderat di Indonesia. “Tentu revitalisasi ini sangat berkaitan dengan semangat inklusifitas keberagamaan yang merujuk pada sikap atau kebijakan yang mendorong penerimaan dan pengakuan terhadap berbagai bentuk kepercayaan dan praktik keagamaan,”sambungnya.
Masih menurut Prof. Dr. Zurqoni, M.Ag Dalam konteks keberagamaan, inklusifitas merujuk pada sikap atau kebijakan yang memperhatikan dan mengakomodasi keragaman keyakinan, praktik keagamaan, dan identitas spiritual dalam suatu komunitas atau masyarakat. Ini berarti memperlakukan setiap individu dengan rasa hormat dan toleransi tanpa memandang agama, kepercayaan, atau keyakinan mereka.
“Dengan menerapkan prinsip inklusifitas dalam konteks keberagamaan, masyarakat dapat menciptakan lingkungan yang lebih harmonis, di mana setiap individu merasa dihormati dan diterima tanpa memandang perbedaan agama atau kepercayaan,” tutupnya.#