Alhijrah.co,-Saat ini hangat dibicarakan di masyarakat terkait revitalisasi Kantor Urusan Agama (KUA) dalam wujud menjadikannya sebagai pusat layanan keagamaan bagi semua agama. Transformasi tersebut berupa layanan pencatatan pernikahan bagi semua agama di mana saat ini hanya umat Islam saja yang melakukan pencatatan dan melangsungkan pernikahan di KUA.

Dengan upaya ini, umat beragama Katolik, Kristen, Hindu, Buddha, dan Khonghucu tidak perlu lagi ke Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil), melainkan cukup ke KUA.

Dasar dan alasan dilakukannya upaya ini menurut Staf Khusus (Stafsus) Menteri Agama, H Muhammad Nuruzzaman adalah untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat. Seperti diketahui bahwa posisi Kantor Kependudukan dan Pencatatan Sipil berada di kabupaten atau kota sementara KUA berada di kecamatan yang relatif dekat dan mudah dijangkau.

Kondisi geografis ini juga menjadi kendala masyarakat untuk mendapatkan akses layanan. Padahal untuk menyelesaikan urusan administrasi ini, umat Non-Muslim harus bolak-balik dari rumahnya ke kantor berkali-kali sehingga akan banyak memakan biaya dan waktu.

Alasan kedua lanjutnya adalah untuk meningkatkan kualitas layanan keagamaan kepada masyarakat melalui peningkatan anggaran dari APBN. Selama ini, anggaran untuk keagamaan yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hanya 0,03 persen.

“Selama ini anggaran operasional KUA itu 2 sampai 3 juta perbulan. Itu kan hanya untuk bayar listrik saja. Belum bayar honorer dan lain,” katanya saat hadir di Lampung untuk membuka Workshop Transformasi Digital dan Orientasi Kehumasan dan Keprotokolan Kanwil Kemenag Lampung di Emersia Hotel, Bandarlampung, Senin (4/3/2024).

Memang menurutnya, wacana kebijakan ini terkendala dengan Undang-undang Administrasi Kependudukan yang menjelaskan bahwa catatan  sipil itu adalah pencatatan pernikahan Non-Muslim, sementara KUA untuk umat Islam.

Problem Administrasi Negara

Dikutip dari artikel di lama Kementerian Agama, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 pasal 2 memberi tanggung jawab pencatatan pernikahan kepada dua institusi negara. KUA untuk melayani pencatatan warga Islam, dan Kantor Catatan Sipil untuk warga non-Islam.

Dalam jangka panjang, ambiguitas administrasi akan menyebabkan kekacauan data. Pemerintah memerlukan data. Tanpa data permasalahan sulit dipetakan. Imbasnya bisa melebar kemana-mana. Program tidak tepat sasaran, kebijakan tidak menyentuh inti permasalahan dan inefisiensi anggaran.

“Padahal negara berkepentingan membangun keluarga harmonis dan sejahtera. Negara harus menjamin hak anak dan ibu di dalam keluarganya. Negara harus menyediakan pekerjaan bagi kepala keluarga. Masih banyak lagi. Dan itu memerlukan soliditas data dalam sumber tunggal dan tidak tercerai berai. Untuk menuju kesana perlu dimulai pembenahan Sistem Administrasi Negara kita,” tulis penulis, Martin H. Siagian, ASN Ditjen Bimas Kristen.

Hal ini selaras dengan UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang administrasi pemerintahan yang juga menegaskan pentingnya menciptakan tertib penyelenggaraan administrasi pemerintahan.

“Pernikahan warga negara harus diperjelas. Apakah lebih tepat menjadi urusan sipil atau agama? Meskipun sama-sama institusi negara, pemerintahan perlu menjaga ritme pembagian kerja antar Lembaga,” ungkapnya.

Menurutnya, dualisme administrasi seperti ini memang harus diakhiri. Apa yang diinisiasi Menteri Agama mampu menjadi refleksibagi sistem administrasi pemerintahan Indonesia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *