Alhijrah.co,-Niat puasa Ramadhan di malam hari merupakan sebuah syarat sah dalam madzhab Syafi’iyah. Namun terkadang pengikut Syafi’iyah lupa untuk berniat dan tertidur sehingga dia terbangun di waktu subuh tanpa berniat puasa sebelumnya.
Lantas bagaimana langkah solutif yang bisa di ambil oleh pengikut Syafi’iyah agar puasanya bisa sah di hari itu?.
Pendapat madzhab Hanafi di anggap solutif untuk menyikapi problematika pengikut Syafi’iyah yang lalai niat di malam hari tersebut. Sebagaimana catatan Mbah Nawawi Banten yang mengutip al-Zayadi berikut:
Artinya: “Sebagaimana disunnahkan baginya untuk berniat puasa Ramadhan di pagi hari yang dia lalai niat di malamnya agar puasanya bisa sah di hari itu sebagaimana menurut Abu Hanifah”. (Muhammad Nawawi, Kasyifatu al-Saja, [Rembang: Maktabah al-Anwariyah, 2017], hal. 289.).
Imam Abu Hanifah memang cenderung berbeda dari madzhab lain tentang tabyitun niyyat (niat puasa di malam hari), sebagaimana menurut al-Quduri dari kalangan Hanafiyah sebagai berikut:
Artinya: “Boleh puasa Ramadhan dengan niat di malam hari, jika tidak berniat di malam hari hingga masuk waktu subuh maka cukup dengan niat pada waktu antara subuh hingga waktu zawal (dzuhur)”. (Abu Bakar al-Haddad al-Zabidi, Al-Jauharu al-Nayyirah Syarh Muhtashar al-Quduri, [Beirut: Darul Kutub Ilmiyah, 2006], juz I, hal. 329.).
Abu Bakar al-Haddad al-Zabidi menekankan batas waktu niat puasa Ramadhan tidak sampai hingga waktu zawal, akan tetapi sebelum pertengahan hari agar mendapatkan praktik puasa di waktu yang lebih banyak dari sebelum niat dilakukan, sebagai berikut:
Artinya: “Dalam Jami’u al-Shaghir batas waktu niat puasa hingga pertengahan pagi dan pendapat itu adalah yang sahih karena dalam puasa harus mendapatkan waktu siang yang lebih banyak dari waktu sebelum dilakukannya niat. Sedangkan menghitung pertengahan hari itu dari sejak fajar shadiq hingga waktu dhahwah al-Kubra, tidak dihitung dari waktu zawal hingga dhahwah al-Kubra”. (Abu Bakar al-Haddad al-Zabidi, Al-Jauharu al-Nayyirah Syarh Muhtashar al-Quduri, [Beirut: Darul Kutub Ilmiyah, 2006], juz I, hal. 329.).
Diksi al-Dhahwah al-Kubra didefinisikan dalam al-Mausu’ah al-Fiqhiyah sebagai berikut:
Artinya: “al-Dhahwah al-Kubra adalah pertengahan siang yakni dihitung dari terbit fajar shadiq hingga terbenamnya matahari”. (Kementrian Wakaf dan Keislaman Kwait, al-Mausu’ah al-Fiqhiyah, [Kwait: Kementrian Pemerintah Kwait, tt], juz XXVIII, hal. 30.).
Jika di tarik dari perhitungan jam puasa rata-rata masyarakat Indonesia sekitar 14 jam dari jam 04.18 hingga 17.47 WIB. Untuk menentukan waktu pertengahan siang dari 13 jam lebih setengah maka mendapati waktu kurang lebih 7 jam, dan bisa ditentukan bahwa pertengahan hari menepati pada jam 11 pagi.
Dan tentunya batas niat puasa Ramadhan harus sebelum pukul 11.00 WIB dan jika ingin bertindak preventif maka harus niat sebelum jam 10.00 WIB. atau bahkan sebelum 09.00 WIB. untuk mendapatkan masa puasa lebih lama dari sebelum waktu niat.
Sebagaimana solusi madzhab Maliki, dalam optimalisasi madzhab Hanafi, Penganut Syafi’iyah juga harus memperhatikan ketentuan puasa menurut Hanafiyah sebagaimana kajian lintas madzhab yang telah difahami, mulai dari syarat dan rukun hingga hal yang membatalkan dan ketentuan lainnya sebagaimana batas waktu niat yang telah diuraikan di atas.
Terdapat beberapa ketentuan yang terangkum dalam al-Mausu’ah al-Fiqhiyah Kwait seperti dalam kasus depresi berat atau gangguan jiwa setelah niat yang menurut Syafi’iyah tidak sah berpuasa akan tetapi menurut Hanafiyah masih sah berpuasa. Sebagaimana juga tidur yang menghilangkan kesadaran seseorang ketika berpuasa. Sengaja membatalkan puasa dengan makan dan minum yang menyebabkan kewajiban qadha serta kafarat sebagaimana menurut Malikiyah.
Pendapat madzhab Hanafi memang terkesan solutif untuk problematika lalai niat di malam hari bagi pengikut Syafi’iyah jika saja dia terbangun dari tidur tidak sampai melewati batas maksimal waktu diperbolehkannya niat yakni jam 09.30 WIB dalam perhitungan durasi puasa masyarakat Indonesia.
Akan tetapi jika terbangun hingga melewati batas akhir jam niat maka jika tidak dari awal juga berniat, sebagaimana madzhab Maliki, jelas puasanya tidak ada celah untuk disahkan. Wallahu a’lam bisshawab.