Foto freepict
Alhijrah.co,-Sahur merupakan aktivitas makan dan minum yang dilakukan pada dini hari sebelum terbit fajar. Makan sahur saat bulan Ramadhan hukumnya adalah sunah dan sangat dianjurkan. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi rasa haus dan lapar tatkala menjalankan ibadah puasa. Selain itu, sahur juga memiliki banyak keutamaan di dalamnya.
Rasulullah Saw. bersabda:

Artinya: “Sahurlah kalian semua. Sesungguhnya sahur itu mengandung keberkahan.” (H.R. Bukhari)

Sahur disunahkan sebab dapat menunjang kekuatan seseorang dalam melaksanakan ibadah puasa. Sama halnya dengan orang yang ingin kuat mendirikan sholat malam atau tahajud, maka ia pada siang harinya disunahkan untuk tidur meski sebentar sebelum memasuki waktu dzhuhur. Tidur ini disebut dengan istilah qailulah.
Berkenaan dengan ini Rasulullah Saw. bersabda:

Artinya: “Berusahalah mencari pertolongan dengan makan sahur untuk puasa siang hari kalian, dan dengan melalui perantara tidur qailulah agar kuat menjalankan ibadah sholat malam.” (H.R. Hakim)
Santap sahur pada umumnya dilakukan mendekati waktu Subuh atau kisaran pukul tiga hingga empat dini hari untuk waktu Indonesia. Kendati demikian, terkadang terdapat sebagian orang yang sengaja mengawalkan waktu sahurnya sebelum memasuki pukul dua belas malam kemudian lanjut tidur. Hal semacam ini dilakukan karena merasa malas untuk bangun saat dini hari.
Lantas apakah praktik demikian masih mendapatkan kesunahan sahur?
Merujuk ketetapan fuqaha, kesunahan sahur masuk tatkala memasuki tengah malam atau sekitar pukul dua belas malam. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Zainuddin Al-Malibari (wafat 987 H) dalam kitabnya:

Artinya: “Dan disunahkan bagi seseorang yang tengah menjalankan puasa Ramadhan dan selainnya untuk melakukan sahur dan mengakhirkannya selagi tidak terjatuh dalam keraguan, dan sahur disunahkan dengan memakan kurma sebab terdapat keterangan hadist mengenai hal itu. Sahur juga bisa hasil meski dengan seteguk air. Waktu sahur masuk dengan separuh malam.” (Zainuddin Ahmad bin Abdul Aziz Al-Malibari, Fath Al-Mu’in Bi Syarh Qurrah Al-‘Ain [Beirut: Dar Ibn Hazm], h. 273)

Berdasarkan keterangan di atas, waktu sahur dimulai saat pertengahan malam. Sehingga makan yang dilakukan sebelum memasuki tengah malam tidak dapat dinamakan dengan sahur. Oleh karenanya, ia tidak mendapatkan kesunahan. Syekh Abu Bakar Syatha Ad-Dimyathi (wafat 1302 H) dalam anotasinya mengemukakan pendapat:

Artinya: “Waktu sahur masuk pada pertengahan malam. Makan sebelum waktu itu bukan dinamakan sahur dan tidak menghasilkan kesunahan. Yang paling utama adalah menunda sahur sampai hampir subuh, sekira ada waktu yang cukup untuk membaca lima puluh ayat.” (Abu Bakar bin Muhammad Syatho Ad-Dimyathi, Hasyiyah I’anah Ath-Thalibin [Beirut: Dar Al-Fikr], vol. 2, h. 277)

Sebagai catatan bahwa dalam aktivitas sahur terdapat kesunahan untuk mengakhirkannya hingga menjelang waktu imsak. Argumentasi kesunahan ini ialah Rasulullah Saw. sendiri tatkala puasa pernah mengakhirkan makan sahurnya, jika dihitung rentang waktu sahur dan waktu sholatnya setara dengan lamanya bacaan lima puluh ayat dari Al-Qur’an.

Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dalam salah satu redaksi hadits:

Artinya: “Dari Anas bin Malik, bahwa Nabi Saw. dan Zaid bin Tsabit makan sahur bersama. Setelah keduanya selesai makan sahur, beliau lalu bangkit melaksanakan sholat. Kami bertanya kepada Anas, Berapa rentang waktu antara selesainya makan sahur hingga keduanya melaksanakan sholat? Anas bin Malik lantas menjawab: Kira-kira waktu seseorang membaca lima puluh ayat.” (H.R. Bukhari)

Walhasil, dari pelbagai referensi tersebut dapat disimpulkan bahwasanya mengawalkan waktu sahur sebelum masuk pukul dua belas malam tidak dapat dinamakan dengan sahur serta tidak mendapatkan kesunahan. Karena, waktu sahur dimulai saat pertengahan malam. Selain itu, juga disunahkan untuk mengakhirkan sahur hingga menjelang waktu imsak. Wallahu a’lam bisshawab.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *