Ilustrasi sahur namun tanpa niat (freepik)
Alhijrah.co,-Problematika sahur dan niat puasa menjadi salah satu masalah yang disoroti oleh masyarakat. Pasalnya banyak dari para pendakwah yang menerangkan kepada masyarakat bahwa sah dalam puasa Ramadhan hanya cukup dengan sahur tanpa harus berniat.

Pernyataan itu mengundang kebingungan karena mayoritas mereka bukan masyarakat pesantren. Terdapat kontradiksi antara niat yang wajib ada sebagai rukun dengan sahur yang hukumnya sunnah.
Lantas apakah hanya dengan makan sahur bisa mewakili niat puasa Ramadhan sehingga seseorang tidak perlu untuk berniat sebagaimana biasanya ?

Perlu difahami bahwa niat merupakan salah satu rukun dalam puasa sebagaimana ibadah yang lain, dan niat puasa setidaknya harus mempunyai dua unsur yakni Qasdul Fi’li (mengungkapkan dalam keadaan sadar atas praktik ibadah yang dijalani), dan ta’yin (spesifikasi ibadah).

Tidak harus ada unsur fardhiyah (status hukum). Berbeda dengan niat shalat yang harus ada unsur ketiga ini karena puasa Ramadhan sudah jelas bahwa hukumnya wajib dan tidak ada i’adah. Tidak sebagaimana shalat yang terkadang diulang atas kepentingan fadilah jamaah sehingga masih membutuhkan unsur fardhiyah dalam niatnya.
Kedua unsur itu sudah terkandung dalam teks niat puasa yang sering dilantunkan menjadi qasidah pra dan pasca tarawih sebagai berikut:
Artinya: “Saya niat berpuasa besok untuk melakukan fardhu bulan Ramadhan tahun ini yang hukumnya fardhu karena Allah ta’ala”.

Sedangkan sahur merupakan salah satu kesunnahan dalam rangkaian praktik ibadah puasa. Sahur sendiri mempunyai arti makanan yang di makan pada waktu sahur sebagaimana catatan al-Syirbini sebagai berikut:

Artinya: “Lafadz Sahur dengan membaca fathah huruf sin adalah makanan yang dimakan ketika waktu sahur (akhir malam mendekati subuh), jika di baca dhammah maka berarti tindakannya, kebanyakan orang membaca dengan fathah, dan dikatakan bahwa yang benar adalah di baca dhammah karena unsur kesunnahan dan keberkahan terdapat pada tindakannya bukan pada apa yang di makan”. (Khathib al-Syirbini, Mughni al-Muhtaj, [Kairo: Darul Hadits, 2006], juz II, hal. 209).

Problematika antara sahur dengan niat puasa memang sudah disoroti oleh para ulama, sebagaimana oleh al-Syirbini dalam kitab yang sama sebagai berikut:

Artinya: “Diksi al-Nawawi (dalam Minhajut Tahlibin) secara letterlijk menunjukkan jika orang bersahur untuk kuat berpuasa maka tidak dianggap berniat begitu juga diksinya dalam kitab al-Uddah. Sedangkan pendapat yang mu’tamad jika seorang bersahur untuk berpuasa, atau minum untuk mencegah haus disiang hari, atau tidak makan, minum dan tidak seks karena khawatir masuk waktu fajar maka tindakan itu tergolong sebagai niat berpuasa jika dalam hatinya terbesit praktik puasa dengan segala kriterianya yang disyaratkan harus ada dalam niat karena tindakan itu mengandung indikasi terhadap kesadaran diri akan berpuasa”. (Khathib al-Syirbini, Mughni al-Muhtaj, [Kairo: Darul Hadits, 2006], juz II, hal. 187).

Catatan al-Syirbini dan para pakar Syafi’yah yang lain dalam problematika ini hampir sama yakni menekankan akan hal-hal yang wajib di singgung dalam niat seperti tujuan bersahur adalah untuk puasa Ramadhan di esok harinya dan dia melakukan sahur itu memang benar-benar untuk melakukan puasa Ramadhan tersebut. Tentu saja kondisi itu merepresentasikan sebuah niat dalam diri pelaku untuk melakukan puasa Ramadhan meskipun tidak disebutkan dalam kalimat niat seperti yang telah disebutkan.

Kasus ini tidak seperti yang dipolemikkan oleh masyarakat tentang kontradiski antara niat dengan sahur dengan status yang berbeda. Akan tetapi menurut pengamatan penulis bahwa kasus ini merupakan bentuk niat dengan selain kalimat niat yang digunakan pada umumnya.

Kasus ini juga dikategorikan oleh para pakar dalam cakupan pembahasan ta’yin. Sehingga penekanan keabsahan sahur tanpa “shighat niat” dengan “menyinggung unsur-unsur yang harus ada dalam niat” jelas sah dan merupakan perwujudan dari niat itu sendiri.

Untuk itu jika praktik sahur masyarakat kita bertujuan hanya agar kuat berpuasa saja maka jelas tujuan itu tidak mewakili terhadap niat puasa itu sendiri, sebab tujuan kuat berpuasa belum bisa diartikan dia benar-benar akan melakukan puasa. Belum lagi penekanan terhadap unsur kategori Ramadhannya dan segala hal yang harus ada dalam niat puasa.

Begitu juga pada dasarnya tidak ada kontradiksi antara niat puasa Ramadhan dengan kesunnahan sahur yang berkonsekuensi terhadap integrasi niat ke dalam sahur sehingga dianggap hanya dengan bersahur seseorang tidak memerlukan niat.

Untuk itu, niat memang harus dijalankan sebagaimana mestinya dan menggunakan kalimat yang memenuhi unsur niat agar tidak terjadi bias sebagaimana dalam kasus sahur tanpa niat ini. Wallahu a’lam bisshawab.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *