Prof. Dr. H.M. Abzar Duraesa, M.Ag
Alhijrah.co,- Guru Besar Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah (FUAD) Prof. Dr. H. M. Abzar Duraesa, M.Ag menanggapi Fenomena ‘War Takjil’ atau perburuan takjil lintas agama atau non Islam (Nonis) yang sedang trend akhir-akhir ini. Menurutnya, fenomena ini menjadi bukti literasi digital dalam menyebarkan moderasi beragama di tengah masyarakat.“War Takjil yang hingga pertengahan Ramadhan ini masih viral di tengah masyarakat merupakan sketsa kehidupan umat beragama di Indonesia,” katanya, Rabu pagi (26/03/2024).

Bagi Guru Besar Bidang Ilmu Studi Islam ini fenomena ini merupakan salah satu bentuk kerukunan antar umat beragama di Indonesia. Jadi Indonesia ini adalah negara dengan keragaman etnis, suku, budaya, bahasa, dan agama yang nyaris tiada tandingannya di dunia. Selain enam agama yang paling banyak dipeluk oleh masyarakatnya, ada ratusan bahkan ribuan suku, bahasa, dan aksara daerah namun kebersamaan dan toleransi tetap terjaga dengan baik.

“Bagi saya fenomena ini perlu dijaga. Karena tentu manfaat dengan adanya war takjil ini akan memupuk rasa kebersamaan, toleransi dan kerukunan kemudian secara ekonomis fenomena ini akan dirasakan langsung para pedagang atau UMKM setempat. Cermin kerukunan di Indonesia bisa disaksikan melalui hal ini,” ungkapnya.

Diketahui asal usul istilah War takjil berangkat dari konten-konten di media sosial TikTok yang viral. Para masyarakat yang beragama selain Muslim, antusias dengan memulai berburu takjil lebih awal. Banyak yang menggambarkan bahwa ketika umat Muslim sedang berada di fase “lemas” saat berpuasa, tetapi warga yang beragama lain telah berburu takjil hingga memborong takjil terlebih dahulu, sehingga warga yang beragama Muslim hanya kebagian sisa- sisa takjil yang tersedia.

Oleh karena itu, tercetuslah sebuah ide dimana jika ada warga yang ingin membeli takjil harus menjawab pertanyaan dari sang penjual terlebih dahulu, untuk mendapatkan takjil yang diinginkan. Banyak dari para teman-teman konten kreator yang membuat konten tentang pertanyaan yang diajukan mulai dari rukun Islam, rukun iman, hingga 2 kalimat syahadat dan hal hal yang berbau islam lainnya. Kemudian digambarkan jika pembeli bisa menjawabnya, maka dia bisa membeli takjil sepuasnya sehingga banyak juga dari warga non Muslim yang menghafalkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Umat Muslim tidak mau kalah, karena itulah terdapat banyak konten mengenai rencana akan memborong telur ketika menjelang Paskah supaya bagi umat Kristiani merayakannya menggunakan kinder joy. Selain itu, mereka juga berencana akan memborong jeruk saat menjelang perayaan Imlek, sehingga nanti ketika perayaan diganti dengan nutrisari.

Pada dasarnya, fenomena ini hanyalah candaan di kalangan masyarakat saja, bukan hal yang benar-benar terjadi dimana warga non muslim dilarang untuk membeli takjil. Momen war takjil ini dapat dimanfaatkan sebagai langkah bersama dalam membantu seluruh lapisan masyarakat, dengan melariskan dagangan para penjual takjil sehingga terjadilah perputaran uang yang sehat di kalangan masyarakat.

Dari fakta-fakta tentang tren fenomena war takjil lintas agama dalam momen bulan Ramadhan kali ini, terlihat jelas bahwa semangat kebersamaan dan solidaritas tidak mengenal batas-batas agama.

Inisiatif ini tidak hanya menyatukan umat Muslim dalam merayakan bulan suci mereka, tetapi juga memperluas keberkahan Ramadan kepada semua lapisan masyarakat, tanpa pandang bulu. Dalam keberagaman dan inklusi inilah kekuatan sejati dari tren war takjil, yang tidak hanya memberi asupan bagi tubuh, tetapi juga menyuburkan jiwa dengan rasa persaudaraan dan kebaikan yang mengalir lintas agama, memperkaya makna Ramadhan bagi semua.
.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *