Alhijrah.co – Nafkah secara bahasa berasal dari kata “al-infaq” yang memiliki arti “mengeluarkan”. Lebih lanjut, kata nafkah kemudian dikaitkan dengan suatu pemenuhan terhadap kebutuhan seseorang yang menjadi tanggungannya. Nah berikut ini akan membahas tentang mengetahui kewajiban nafkah terhadap diri sendiri.
Secara garis besar, kewajiban nafkah terbagi menjadi dua. Yaitu nafkah terhadap dirinya sendiri, dan nafkah terhadap orang lain (seperti istri, anak, orangtua, dan sebagainya). Dengan begitu, diketahui bahwa konsep nafkah tidak hanya sebatas tentang memenuhi kebutuhan orang lain. Tetapi ada kewajiban yang lebih utama, yaitu nafkah terhadap dirinya sendiri atau menafkahi diri sendiri. Sebagaimana hadits Rasulullah SAW:
ابْدَأُ بِنَفْسِكَ ثُمَّ بِمَنْ تَعُولُ
Artinya: “Dahulukanlah dirimu lalu orang yang wajib engkau nafkahi” (HR. al-Thabrani 3129)
Hadits tersebut menjelaskan bahwa kewajiban nafkah seseorang ialah dimulai dari diri sendiri, sehingga wajib memenuhi nafkah terhadap diri sendiri terlebih dahulu sebelum mulai menanggung nafkah terhadap orang lain. Urutan terhadap pengeluaran nafkah ini juga dikuatkan dalam hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Jabir:
ابْدَأْ بِنَفْسِكَ فَتَصَدَّقْ عَلَيْهَا، فَإِنْ فَضَلَ شَىْءٌ فَلِأَهْلِكَ. فَإِنْ فَضَلَ عَنْ أَهْلِكَ شَىْءٌ، فَلِذِي قَرَابَتِكَ. فَإِنْ فَضَلَ عَنْ ذِي قَرَابَتِكَ شَىْءٌ، فَهَكَذَا وَهَكَذَا.
Artinya: “Mulailah dengan dirimu sendiri, nafkahkan untuknya, lalu jika ada suatu lebihan, maka nafkahkan untuk istrimu. Jika dari nafkah istrimu ada suatu lebihan, maka nafkahkan untuk kerabatmu. Jika dari nafkah kerabatmu ada lebihan sesuatu, maka nafkahkanlah untuk ini dan itu” (HR. Muslim 997)
Urutan prioritas dalam memberi nafkah (dalam hal ini di beri istilah shadaqah) dapat diketahui melalui hadits tersebut. Pertama, seseorang wajib menafkahi dirinya sendiri, kemudian istri, lalu keluarga terdekatnya, dan selanjutnya kepada orang lain yang membutuhkan. Faedah dari adanya urutan tersebut adalah ketika ada beberapa hak yang bertentangan, maka yang didahulukan adalah yang paling penting.
Maka nafkah untuk diri sendiri lebih diutamakan daripada nafkah untuk orang lain, karena seseorang tidak akan bisa membantu orang lain jika dia sendiri tidak mampu memenuhi kebutuhannya. (An-Nawawi, Syarhun Nawawi ‘ala Muslim, juz 7, hal 83).
Kemudian mengenai berapa besaran atau ukuran nafkah yang dikeluarkan untuk diri sendiri, tidak ada ketentuan khusus dalam Islam. Sehingga tidak ada angka pasti berapa ideal nafkah untuk diri sendiri. Islam menganjurkan hidup sederhana dan secukupnya, sesuai dengan pendapatan dan kebutuhan.Yang terpenting adalah segala kebutuhan pokok diri sendiri menjadi terpenuhi.
Dengan begitu, kita dapat memenuhi kewajiban nafkah terhadap diri sendiri dan menjalankan kewajiban lainnya dengan optimal. Sebagaimana yang terdapat dalam kitab Fiqh al-Manhaji:
إن أدنى ما يجب على الإنسان من الإنفاق أن يبدأ بنفسه، إذا قدر على ذلك، وهي مقدمة على نفقة غيرة .وتشمل هذه النفقة كل ما يحتاجه المرء من مسكن، ولباس، وطعام، وشراب، وغير ذلك.
Artinya: “Permulaan nafkah yang wajib ditunaikan oleh seseorang adalah dimulai dari dirinya sendiri, jika dia mampu. Ini merupakan pendahuluan atas nafkah terhadap orang lain. Nafkah ini mencakup segala hal yang dibutuhkan seperti tempat tinggal, pakaian, minuman, dan sebagainya”. (al-Fiqh al-Manhaji ‘ala Mazhab al-Imam al-Syafi’i, juz 4, hal 170)
Menafkahi diri sendiri merupakan kewajiban utama dan menjadi pondasi untuk bisa menjalankan kewajiban lainnya. Dengan memenuhi kebutuhan pokok dengan baik, kita dapat menjadi individu yang mandiri, bertanggung jawab, dan lebih produktif dalam beribadah dan berkontribusi pada orang lain yang membutuhkan.
Demikian penjelasan mengenai kewajiban menafkahi terhadap diri sendiri, semoga bermanfaat.
Wallahu a’lam.